I. PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pakan alami
merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan usaha
budidaya ikan. Sebagian besar
pakan alami ikan adalah plankton yaitu fitoplankton dan zooplankton.
Pakan alami untuk larva atau benih ikan mempunyai
beberapa kelebihan yaitu ukurannya relatif kecil serta sesuai dengan bukaan mulut
larva dan benih ikan, nilai nutrisinya tinggi, mudah dibudidayakan, gerakannya
dapat merangsang ikan untuk memangsanya, dapat berkembang biak dengan cepat
sehingga ketersediaanya dapat terjamin serta biaya pembudidayaannya relatif
murah. Pakan
merupakan unsur terpenting dalam menunjang pertumbuhan dan kelangsungan hidup
ikan. Salah satu pakan alami yang
penting dan cocok untuk kebutuhan larva ikan maupun ikan hias adalah Artemia salina
(Priyambodo dan Triwahyuningsih, 2003).
Artemia merupakan pakan alami yang banyak digunakan
dalam usaha budidaya ikan dan udang, di indonesia belum ditemukan adanya
artemia, sehingga sampai saat ini Indonesia masih mangimpor artemia sebanyak 50
ton/tahun. Walaupun pakan buatan dalam berbagai jenis telah berhasil
dikembangkan dan cukup tersedia untuk larva ikan dan udang, namun artemia masih
tetap merupakan bagian yang esensial sebagai pakan larva ikan dan udang di unit
pembenihan. Keberhasilan pembenihan ikan bandeng, kakap dan kerapu juga
memerlukan ketersediaan artemia sebagai pakan alami esensialnya, serta dengan
adanya kenyataan bahwa kebutuhan artemia untuk larva ikan kakap dan kerapu 10
kali lebih banyak dibandingkan dengan larva udang, maka kebutuhan kista atemia
akan semakin meningkat (Daulay, 1998).
Artemia
merupakan pakan alami yang sangat penting dalam pembenihan ikan laut,
krustacea, ikan konsumsi air tawar dan ikan hias. Ini terjadi karena artemia
memiliki gizi yang tinggi, serta ukurannya sesuai dengan bukaan mulut hampir
seluruh jenis larva ikan (Djarijah, 2003). Kebutuhan
artemia pada produksi benih ikan dan udang skala intensif harus dipenuhi dalam
waktu beberapa jam saja karena laju pencernaan pada larva begitu cepat.
Sedangkan dalam waktu normal penetasan kista artemia dalam air laut adalah
24-36 jam pada suhu 25oC. Penetasan kista (telur) artemia harus
dilakukan dalam waktu yang lebih singkat dan dalam jumlah yang besar. Sehingga
dibutuhkan teknologi terapan yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut, teknologi
yang telah berkembang untuk menjawab tantangan tersebut adalah dekapsulasi
kista artemia. Cara dekapsulasi dilakukan dengan mengupas bagian luar kista
menggunakan larutan hipoklorit tanpa mempengaruhi kelangsungan hidup embrio.
Cara dekapsulasi merupakan cara yang tidak umum digunakan pada panti-panti
benih, namun untuk meningkatkan daya tetas dan meneghilangkan penyakit yang
dibawa oleh kista artemia cara dekapsulasi lebih baik digunakan (Bougias,
2008).
B.
Tujuan
Adapun
tujuan dari praktikum ini adalah untuk melakukan penetasan kista artemia pada
skala laboratorium serta mengetahui teknik penetasan kista artemia dan
persentase penetasan artemia.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Sistematika
dan Morfologi Artemia Salina
Menurut
Priyambodo dan Triwahyuningsih (2003)
sistematika
Artemia salina adalah sebagai berikut :
Filum :
Anthropoda
Kelas : Crustacea
Subkelas : Branchiopoda
Ordo : Anostraca
Family :
Artemidae
Genus : Artemia Gambar 1. Artemia salina
Sumber (doc. Pribadi)
Spesies : Artemia salina
Kista artemia berbentuk
bulat berlekuk dalam keadaan kering dan bulat penuh dalam keadaan basah.
Warnanya coklat yang diselubungi oleh cangkang yang tebal dan kuat. Cangkang
ini berguna untuk melindungi
embrio terhadap pengaruh kekeringan, benturan
keras, sinar ultra violet dan mempermudah pengapungan (Mudjiman, 2008). Artemia dewasa memiliki ukuran antara 10-20 mm dengan berat sekitar 10 mg. Bagian
kepalanya lebih besar dan kemudian mengecil hingga bagian ekor. Mempunyai
sepasang mata dan sepasang antenulla yang terletak pada bagian kepala. Pada
bagian tubuh terdapat sebelas pasang kaki yang disebut thoracopoda.
Alat kelamin terletak antara ekor dan pasangan kaki paling belakang. Salah
satu antena artemia jantan berkembang menjadi alat penjepit, sedangkan pada
betina antena berfungsi sebagai alat sensor. Jika kandungan oksigen optimal,
maka artemia akan berwarna kuning atau merah jambu. Warna ini bisa berubah
menjadi kehijauan apabila mereka banyak mengkonsumsi mikroalga. Pada kondisi
yang ideal seperti ini, artemia akan tumbuh dengan cepat (Priyambodo dan
Triwahyuningsih, 2003).
B.
Habitat
Artemia, satu-satunya genus
dalam keluarga artemidae. Pertama kali ditemukan di Lymington, inggris pada
tahun 1755. Artemia ditemukan diseluruh dunia dipedalaman saltwater tetapi tidak di lautan. Artemia hidup di perairan yang
berkadar garam tinggi, yaitu antara 15-30 ppt. Pada salinitas yang terlalu
tinggi, telur tidak akan menetas yang disebabkan tekanan osmosis dari luar
tubuh lebih tinggi, sehingga telur tidak dapat menyerap air yang cukup untuk metabolismenya (Dhert, 1980).
Artemia memiliki
kemampuan beradaptasi dengan cepat terhadap variasi tingkatan oksigen di
perairan dengan menghasilkan hemoglobin untuk meningkatkan afinitas oksigen.
Kandungan oksigen terlarut yang baik untuk pertumbuhan artemia adalah di atas 3
mg/L namun kadar oksigen kurang dari 2 mg/L dapat menjadi pembatas produksi
biomasa artemia (Mudjiman, 1983).
C.
Kebiasaan
Makan
Menurut
Mujdjiman (1989), kebiasaan makan artemia salina yaitu dengan manyaring pakan (filter feeder). Artemia menelan apa saja
yang ukurannya kecil, baik benda hidup, benda mati, benda keras, maupun benda
lunak. Di alam, pakan artemia antara lain berupa detritus bahan organik,
ganggang-ganggang renik, bakteri, dan cendawan (ragi laut). Menurut Thariq et al (2002) menyatakan bahwa artemia
juga merupakan hewan yang bersifat filter
feeder non selektif, oleh sebab itu faktor terpenting yang harus
diperhatikan dalam memilih pakan artemia adalah ukuran partikel kurang dari 50
µm sehingga mudah dicerna, mempunyai nilai gizi dan dapat larut dalam media
kultur. Artemia mulai makan pada instar ketiga, yaitu setelah saluran
pencernaan terbentuk. Ukuran partikel pakan untuk larva artemia adalah 20-30 µm
dan untuk artemia dewasa antara 40-50 µm.
D.
Reproduksi
Chumaidi et al.,
(1990) menyatakan bahwa perkembangbiakan artemia ada dua cara, yakni
partenhogenesis dan biseksual. Pada artemia yang termasuk jenis parthenogenesis
populasinya terdiri dari betina semua yang dapat membentuk telur dan embrio
berkembang dari telur yang tidak dibuahi. Sedangkan pada artemia jenis
biseksual, populasinya terdiri dari jantan dan betina yang berkembang melalui
perkawinan dan embrio berkembang dari telur yang dibuahi.
Pada awalnya naupli berwarna orange kecoklatan
karena masih mengandung
kuning telur. Artemia yang baru menetas belum bisa makan, karena mulut dan anusnya belum terbentuk dengan sempurna.
Setelah
12 jam naupli tersebut akan berganti kulit dan memasuki tahap larva kedua
(nauplius II). Dalam fase ini naupli tersebut akan mulai makan dengan pakan
berupa mikroalga, bakteri, dan
detritus organik lainya. Nauplius bersifat tidak memilih pakan sehingga akan
memakan segala jenis pakan yang dapat dikonsumsinya selama ukuran sesuai
dengan bukaan mulut nauplius. Naupli akan berganti
kulit sebanyak 15 kali sebelum menjadi dewasa dalam kurun waktu 8 hari. Artemia
dewasa rata-rata berukuran sekitar 8 mm, meskipun demikian pada kondisi yang
tepat mereka dapat mencapai ukuran sampai dengan 20 mm (Sumeru, 2008).
Dalam
tingkat salinitas rendah dan pakan yang optimal, artemia betina bisa
menghasilkan naupli sebanyak 75 ekor perhari. Selama masa hidupnya (sekitar 50
hari) artemia bisa memproduksi naupli rata-rata sebanyak 10-11 kali. Dalam
kondisi normal, artemia dewasa bisa hidup selama 3 bulan dan memproduksi naupli
atau kista sebanyak 300 ekor (butir) per 4 hari (Sumeru, 2008).
E.
Kualitas Air
Artemia sp. secara umum tumbuh dengan baik pada
kisaran suhu 25-30 oC. Kista artemia kering tahan terhadap suhu -273
hingga 100 oC. Artemia dapat ditemui di danau dengan kadar garam
tinggi, disebut dengan brain shrimp.
Kultur biomasa artemia yang baik pada kadar garam 30-50 ppt. Untuk artemia yang
mampu menghasilkan kista membutuhkan kadar garam diatas 100 ppt (Isnansetyo dan
Kurniastuty, 1995). Faktor lain yang penting adalah pH, cahaya, dan
oksigen. Nilai pH berkisar antara 8-9 merupakan nilai yang paling baik,
sedangkan pH di bawah 5 atau lebih tinggi dari 10 dapat membunuh artemia.
Cahaya minimal diperlukan dalam proses penetasan akan sangat menguntungkan bagi
pertumbuhan artemia (Jusadi, 2003).
F.
Penetasan
Kista Artemia salina
Harefa (1996) mengatakan bahwa penetasan kista
artemia dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu penetasan langsung dan penetasan
dengan cara dekapsulasi. Cara dekapsulasi dilakukan dengan mengupas bagian luar
kista menggunakan larutan hipoklorit tanpa mempengaruhi kelangsungan hidup
embrio. Cara dekapsulasi merupakan cara yang tidak umum digunakan pada
panti-panti benih, namun untuk meningkatkan daya tetas dan meneghilangkan
penyakit yang dibawa oleh kista artemia cara dekapsulasi lebih baik digunakan.
Langkah-langkah penetasan kista artemia dengan cara
dekapsulasi yaitu dengan cara kista artemia dihidrasi dengan menggunakan air
tawar selama 1-2 jam, kemudian kista disaring menggunakan plankton net 120
mikronm dan dicuci bersih. Tahap selanjutnya kista dicampur dengan larutan
kaporit/klorin dengan dosis 1,5 ml per 1 gram kista, kemudian diaduk hingga
warna menjadi merah bata, lalu kista segera disaring menggunakan plankton net
120 mikronm dan dibilas menggunakan air tawar sampai bau klorin hilang, barulah
siap untuk ditetaskan selanjutnya kista akan menetas setelah 18-24 jam.
Pemanenan dilakukan dengan cara mematikan aerasi untuk memisahkan cytae yang
tidah menetas dengan naupli artemia (Harefa, 1996).
Purwakusuma (2008) kista hasil dekapsulasi dapat
segera digunakan (ditetaskan) atau disimpan dalam suhu 0-4 oC dan
digunakan sesuai kebutuhan. Dalam kaitannya dengan proses penetasan Chumaidi et al (1990) mengatakan kista setelah
dimasukan ke dalam air laut (5-70 ppt) akan mengalami hidrasi berbentuk bulat
dan di dalamnya terjadi metabolisme embrio yang aktif, sekitar 24 jam kemudian
cangkang kista pecah dan muncul embrio yang masih dibungkus dengan selaput.
Pada saat ini panen segera akan dilakukan.
III.
METODOLOGI
PRAKTIKUM
A. Waktu dan Tempat
Praktikum Budidaya
Pakan Alami Penetasan Kista Artemia Salina dilaksanakan pada hari Senin-Selasa,
05-06 November 2012 pukul 08.00 WIB sampai dengan selesai di Laboratorium Budidaya
Perairan Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas
Sriwijaya.
B. Alat dan Bahan
1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam
praktikum penetasan kista Artemia salina
adalah sebagai berikut :
Tabel
1. Alat yang digunakan dalam praktikum penetasan Artemia salina
No.
|
Alat
|
Spesifikasi
|
Fungsi
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
|
Botol air mineral
Tali rafia
Aerator
Pisau / cutter
Neraca digital
Lem isolasi
Terminal listrik
Senter
Plastik hitam
Penjepit selang aerator
|
1,5 L
Secukupnya
1
1
1
1
-
1
1
1
|
Sebagai
wadah tempat artemia
Untuk
menggantungkan botol
Untuk
aerasi
Untuk
memotong botol
Untuk
menimbang kista artemia
Untuk
merekatkan plastik
Untuk
menghubungkan listrik
Untuk
penyinaran pada artemia
Untuk
melapisi dan menutupi botol
Untuk mengatur pengeluaran artemia
saat pemanenan
|
2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam
praktikum penetasan kista Artemia salina
adalah sebagai berikut :
Tabel
2. Bahan yang digunakan untuk percobaan penetasan Artemia salina
No.
|
Bahan
|
Spesifikasi
|
Fungsi
|
1.
2.
|
Air laut
Kista artemia
|
1 L
1 g
|
Media hidup
artemia
Objek
percobaan
|
C. Cara Kerja
Adapun cara kerja yang dilakukan dalam
praktikum ini adalah sebagai berikut :
a. Botol
air minum kemasan berkapasitas 1,5 liter dibersihkan dengan menggunakan sabun
lalu dibilas hingga bersih dan dikeringkan (sterilisasi).
b. Kemudian
potong bagian bawah botol lalu botol dibalik.
c. Buat
kran tempat pengeluaran naupli artemia dibagian mulut botol, usahakan jangan
sampai bocor.
d. Wadah
penetasan diletakkan didekat lampu.
e. Masukkan
1 liter air laut lalu aerasi.
f. Masukkan
kista artemia 1 gram ke dalam wadah penetasan tersebut biarkan selama 24-48
jam.
g. Pemanenan
artemia dilakukan dengan cara mematikan aerasi terlebih dahulu lalu dilakukan
penyenteran dari bagian bawah botol sehingga naupli akan mengikuti arah cahaya
untuk memudahkan pemanenan.
h. Perhitungan
dilakukan dengan rumus
HP = N1 x 100%
N2
Keterangan :
HP =
Persentase penetasan
N1
= Jumlah kista yang menetas
N2
= Jumlah kista yang ditetaskan
IV.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
A.
Hasil
Adapun hasil yang
diperoleh dari praktikum penetasan kista Artemia salina adalah sebagai berikut :
Tabel 3. Hasil
praktikum penetasan kista Artemia salina
Kelompok Penetasan
(%) N1 N2
(ekor/liter) (ekor/liter)
I 68,85
% 178.000 258.525
II 68,64
% 196.000 286.389
III 29,84
% 77.000 258.000
IV 54,67 % 188.000 343.860
V 41,41
% 101.000 243.860
VI 12,41
% 31.000 249.000
VII 32,38 % 81.000 250.200
VIII 86,6
% 250.000 300.000
B. Pembahasan
Pada praktikum
penetasan kista artemia ini, kista dimasukan kedalam wadah yang berisi air
laut. Kista yang sudah dimasukan kedalam air laut tersebut menetas dalam waktu
22 jam, penetasan kista tersebut relative cepat hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Mudjiman (1989) penetasan kista artemia yang berkualitas baik
akan menetas dalam waktu sekitar 18-24 jam apabila diinkubasi dalam salinitas
5-10 ppt, ada beberapa proses yang terjadi dalam penetasan kista artemia yaitu
tahapan hidrasi, tahapan pecah cangkang, dan tahapan naupli.
Pada praktikum ini
digunakan 1 gram kista per liter air media penetasan. Kemudian dilakukan
penghitungan jumlah kista dengan metode sampling didapat 188.000 butir kista
artemia. Pada praktikum ini, kista artemia dimasukkan kedalam wadah penetasan
pada tanggal 5 Nopember 2012 jam 14.30 WIB dan penetasan kista terjadi pada tanggal
5 Nopember 2012 jam 12.46 WIB. Persentase penetasan kista artemia
dilakukan dengan melakukan pemanenan langsung yaitu dengan menghitung
menggunakan metode volumetrik. Banyaknya kista yang menetas pada kelompok kami
adalah 343.860 butir kista artemia dengan persentase penetasan 54,67%
persentase ini relatif rendah dibandingkan dengan kelompok lain, karena pada
praktikum ini banyak kista yang tidak menetas karena dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu lingkungan yang tidak
normal baik itu suhu, aerasi, kepadatan populasi kista, salinitas maupun
intensitas cahaya. Menurut Harefa
(1996)
penetasan terjadi jika terdapat perbedaan tekanan osmotik antara bagian luar
dan dalam kista. Peningkatan tekanan di dalam kista ini disebabkan oleh adanya
gliserol. Gliserol dapat disintesis dari adanya lemak maupun dari trehalosa
yang terkandung dalam yolk.
Setelah 15 – 20 jam
pada suhu 25°C kista akan menetas manjadi embrio. Dalam waktu beberapa jam
embrio ini masih akan tetap menempel pada kulit kista. Pada fase ini embrio
akan menyelesaikan perkembangannya kemudian berubah menjadi naupli yang sudah
akan bisa berenang bebas. Pada awalnya naupli akan berwarna orange kecoklatan
akibat masih mengandung kuning telur. Artemia yang baru menetas tidak akan
makan, karena mulut dan anusnya belum terbentuk dengan sempurna. Setelah 12 jam
menetas mereka akan ganti kulit dan memasuki tahap larva kedua. Dalam fase ini
mereka akan mulai makan, dengan pakan berupa mikro alga, bakteri, dan detritus
organik lainnya. Pada dasarnya mereka tidak akan peduli (tidak pemilih) jenis
pakan yang dikonsumsinya selama bahan tersebut tersedia diair dengan ukuran
yang sesuai. Naupli akan berganti kulit sebanyak 15 kali sebelum menjadi dewasa
dalam waktu 8 hari. Artemia dewasa rata-rata berukuran sekitar 8 mm, meskipun
demikian pada kondisi yang tepat mereka dapat mencapai ukuran sampai dengan 20
mm. Pada kondisi demikian biomasnya akan mencapi 500 kali dibandingakan biomas
pada fase naupli (Purwakusuma, 2008).
Menurut Isnansetyo dan
Kurniastuty (1995) pembesaran Artemia salina dengan kepadatan 3 ekor/ml
dan hasilnya cukup baik. Dengan padat penebaran 3 ekor/ml, air laut harus
diganti setiap hari. Dalam hal penebaran Artemia salina kepadatan
nauplius juga harus diperhatikan. Padat penebaran yang telah diuji pada
nauplius adalah antara 1000-9000 ekor/l. Pada nauplius ini ada gejala yang
menarik. Ternyata kandungan amonia justru lebih tinggi pada kepadatan rendah.
Produksi amonia pada padat penebaran 6000 ekor/l tidak berbeda nyata dengan
padat penebaran 9000 ekor/l. Padat penebaran rendah terjadi peningkatan
aktifitas dengan semakin besarnya ruang gerak sehingga produksi amonia
bertambah karena metabolisme meningkat. Sebaliknya dengan padat penebaran
nauplius yang tinggi akan mengurangi raung gerak sehingga akan mengurai
metabolisme nauplius dan produksi artemia akan menurun. Sedangkan untuk
penggunaan aerasi yang terus menerus akan menghambat pertumbuhan larva Artemia
salina. pembesaran Artemia
salina dengan aerasi secara periodik yaitu satu menit setiap setengah jam
(Persoone dan Sorgeloos, 1975).
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Adapun
kesimpulan yang diperoleh dari praktikum ini adalah sebagai berikut :
1.
Penetasan kista artemia berlangsung
selama 22 jam yang terjadi melalui beberapa tahapan.
2.
Penetasan kista artemia sangat
dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu suhu, aerasi, salinitas dan intensitas
cahaya.
3.
Banyaknya kista yang menetas pada
kelompok kami adalah 343.860 butir
4.
Persentase
penetasan kista artemia yang didapatkan dari kelompok kami yaitu sebesar 54,67%.
5.
Jumlah kista artemia dalam 1 gram
dihitung sebanyak 188.000 butir.
B. Saran
Pada saat praktikum penetasan kista Artemia salina sebaiknya peralatan dan bahan praktikum
lebih dipersiapkan terlebih dahulu agar praktikum berjalan
dengan lancar.
DAFTAR PUSTAKA
Bougias,
2008. Pakan Ikan Alami. Kanisius,
Yogyakarta.
Chumaidi et. al. 1990. Petunjuk
Teknis Budidaya Pakan Alami Ikan dan UdangPuslitbangkan
PHP\KAN\PT\12\Rep\1990, Jakarta
Daulay, T., 1998. Artemia Salina (Kegunaan, Biologi dan
Kulturnya). INFIS Manual Seri No.12. Direktorat Jendral Perikanan dan
International Development Research, Jakarta.
Dhert,
P., P. Sorgeloos, and B. Devresse. 1980. Contribution toward a
specific DHA enrichment in the live food Brachionus plicatilis and Artemia
sp.I n: Reinertsen, H., L.A. Dahle,
L. Jorgensen, and K. Tvinnereim (eds). Proceeding of The First National
Conference of Fish Farming Technology. Rotterdam: Comittee of the First
National Conference of Fish Farming Technology.
Djarijah,
Abbas Siregar. 2003. Pakan Ikan Alami. Kanisius, Yogyakarta.
Harefa, 1996. Laporan Kegiatan Kultur Kopepoda dan Artemia
dengan Pakan Fermentasi, Dirjen perikanan BBL Lampung
Isnansetyo
dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton. Pakan
Alami Untuk Pembenihan Organisme Laut.
Kanasius, Yogyakarta.
Jusadi,
Dedy. 2003. Modul Penetasan Artemia.
Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional.
Mudjiman,
A. 2008. Makanan Ikan Edisi Revisi. Penebar Swadaya, Jakarta.
Persoone,
G. dan P. Sorgeloos 1975. Technological imporvements for the cultivation of
invertebrates as food for fishes and crsutaceans I. Devices and methods. Aquaculture 6 : 275 - 289.
Purwakusuma,
W. 2008. Artemia Salina.
(fish.com/pakanIkan/Artemia.php). Diakses Pada Tanggal 28 April 2012.
Priyambodo
dan Wahyuningsih, Tri. 2003. Budidaya Pakan Alami Untuk Ikan. Jakarta : Penebar Swadaya Sumeru, Sri Umiyati, Ir. 2008. Produksi Biomassa Artemia. diakses
tanggal 15 November 2008.
Sumeru,
Sri Umiyati dan Suzzy Anna. 2008. Penyediaan Nauplii Artemia. http:// hobiikan.blogspot.com/2008/10/penyediaannauplii- artemia.html [17 Mei 2009].
Thariq
et al. 2002. Biologi Zooplankton. Seri Budidaya Laut No.9. Balai Budidaya Laut
Lampung, Lampung.
LAPORAN TETAP
PRAKTIKUM BUDIDAYA
PAKAN ALAMI
PENETASAN
KISTA ARTEMIA
Oleh
Kelompok
IV
Ahmad
Medi Aprianto (05101005005)
Syarif Hidayatullah (05101005014)
Ririenn Ghaliah G.Q (05101005015)
Apriana (05101005030)
PROGRAM STUDI
BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS
SRIWIJAYA
INDRALAYA
2013
(y)
BalasHapus