Neocloris Aquatica

Blog ini bertujuan untuk memberikan informasi data kepada taruna ataupun masyarakat luas untuk pembangunan kelautan perikanan indonesia yang lebih maju

Minggu, 29 Desember 2013

artemia



I.       PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pakan alami merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan usaha budidaya ikan. Sebagian besar pakan alami ikan adalah plankton yaitu fitoplankton dan zooplankton. Pakan alami untuk larva atau benih ikan mempunyai beberapa kelebihan yaitu ukurannya relatif kecil serta sesuai dengan bukaan mulut larva dan benih ikan, nilai nutrisinya tinggi, mudah dibudidayakan, gerakannya dapat merangsang ikan untuk memangsanya, dapat berkembang biak dengan cepat sehingga ketersediaanya dapat terjamin serta biaya pembudidayaannya relatif murah. Pakan merupakan unsur terpenting dalam menunjang pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Salah satu pakan alami yang penting dan cocok untuk kebutuhan larva ikan maupun ikan hias adalah Artemia salina (Priyambodo dan Triwahyuningsih, 2003).
Artemia merupakan pakan alami yang banyak digunakan dalam usaha budidaya ikan dan udang, di indonesia belum ditemukan adanya artemia, sehingga sampai saat ini Indonesia masih mangimpor artemia sebanyak 50 ton/tahun. Walaupun pakan buatan dalam berbagai jenis telah berhasil dikembangkan dan cukup tersedia untuk larva ikan dan udang, namun artemia masih tetap merupakan bagian yang esensial sebagai pakan larva ikan dan udang di unit pembenihan. Keberhasilan pembenihan ikan bandeng, kakap dan kerapu juga memerlukan ketersediaan artemia sebagai pakan alami esensialnya, serta dengan adanya kenyataan bahwa kebutuhan artemia untuk larva ikan kakap dan kerapu 10 kali lebih banyak dibandingkan dengan larva udang, maka kebutuhan kista atemia akan semakin meningkat (Daulay, 1998).
Artemia merupakan pakan alami yang sangat penting dalam pembenihan ikan laut, krustacea, ikan konsumsi air tawar dan ikan hias. Ini terjadi karena artemia memiliki gizi yang tinggi, serta ukurannya sesuai dengan bukaan mulut hampir seluruh jenis larva ikan (Djarijah, 2003). Kebutuhan artemia pada produksi benih ikan dan udang skala intensif harus dipenuhi dalam waktu beberapa jam saja karena laju pencernaan pada larva begitu cepat. Sedangkan dalam waktu normal penetasan kista artemia dalam air laut adalah 24-36 jam pada suhu 25oC. Penetasan kista (telur) artemia harus dilakukan dalam waktu yang lebih singkat dan dalam jumlah yang besar. Sehingga dibutuhkan teknologi terapan yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut, teknologi yang telah berkembang untuk menjawab tantangan tersebut adalah dekapsulasi kista artemia. Cara dekapsulasi dilakukan dengan mengupas bagian luar kista menggunakan larutan hipoklorit tanpa mempengaruhi kelangsungan hidup embrio. Cara dekapsulasi merupakan cara yang tidak umum digunakan pada panti-panti benih, namun untuk meningkatkan daya tetas dan meneghilangkan penyakit yang dibawa oleh kista artemia cara dekapsulasi lebih baik digunakan (Bougias, 2008).
               
B.     Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk melakukan penetasan kista artemia pada skala laboratorium serta mengetahui teknik penetasan kista artemia dan persentase penetasan artemia.

II.       TINJAUAN PUSTAKA

                                                  

A.    Sistematika dan Morfologi Artemia Salina
Menurut Priyambodo dan Triwahyuningsih (2003) sistematika Artemia  salina adalah sebagai berikut :
Description: C:\Users\apriana\Pictures\praktikumm\Foto1625.jpgFilum               : Anthropoda
Kelas               : Crustacea
Subkelas          : Branchiopoda
Ordo                : Anostraca
Family             : Artemidae
Genus              : Artemia                                 Gambar 1. Artemia salina
                                                                           Sumber (doc. Pribadi)
Spesies            : Artemia salina               
Kista artemia berbentuk bulat berlekuk dalam keadaan kering dan bulat penuh dalam keadaan basah. Warnanya coklat yang diselubungi oleh cangkang yang tebal dan kuat. Cangkang ini berguna untuk melindungi embrio terhadap pengaruh kekeringan, benturan keras, sinar ultra violet dan mempermudah pengapungan (Mudjiman, 2008). Artemia dewasa  memiliki ukuran antara 10-20 mm dengan berat sekitar 10 mg. Bagian kepalanya lebih besar dan kemudian mengecil hingga bagian ekor. Mempunyai sepasang mata dan sepasang antenulla yang terletak pada bagian kepala. Pada bagian tubuh terdapat sebelas pasang kaki yang disebut thoracopoda. Alat kelamin terletak antara ekor dan pasangan kaki paling belakang. Salah satu antena artemia jantan berkembang menjadi alat penjepit, sedangkan pada betina antena berfungsi sebagai alat sensor. Jika kandungan oksigen optimal, maka artemia akan berwarna kuning atau merah jambu. Warna ini bisa berubah menjadi kehijauan apabila mereka banyak mengkonsumsi mikroalga. Pada kondisi yang ideal seperti ini, artemia akan tumbuh dengan cepat (Priyambodo dan Triwahyuningsih, 2003).

B.     Habitat
Artemia, satu-satunya genus dalam keluarga artemidae. Pertama kali ditemukan di Lymington, inggris pada tahun 1755. Artemia ditemukan diseluruh dunia dipedalaman saltwater tetapi tidak di lautan. Artemia hidup di perairan yang berkadar garam tinggi, yaitu antara 15-30 ppt. Pada salinitas yang terlalu tinggi, telur tidak akan menetas yang disebabkan tekanan osmosis dari luar tubuh lebih tinggi, sehingga telur tidak dapat menyerap air yang cukup untuk metabolismenya (Dhert, 1980).
Artemia memiliki kemampuan beradaptasi dengan cepat terhadap variasi tingkatan oksigen di perairan dengan menghasilkan hemoglobin untuk meningkatkan afinitas oksigen. Kandungan oksigen terlarut yang baik untuk pertumbuhan artemia adalah di atas 3 mg/L namun kadar oksigen kurang dari 2 mg/L dapat menjadi pembatas produksi biomasa artemia (Mudjiman, 1983).

C.    Kebiasaan Makan
Menurut Mujdjiman (1989), kebiasaan makan artemia salina yaitu dengan manyaring pakan (filter feeder). Artemia menelan apa saja yang ukurannya kecil, baik benda hidup, benda mati, benda keras, maupun benda lunak. Di alam, pakan artemia antara lain berupa detritus bahan organik, ganggang-ganggang renik, bakteri, dan cendawan (ragi laut). Menurut Thariq et al (2002) menyatakan bahwa artemia juga merupakan hewan yang bersifat filter feeder non selektif, oleh sebab itu faktor terpenting yang harus diperhatikan dalam memilih pakan artemia adalah ukuran partikel kurang dari 50 µm sehingga mudah dicerna, mempunyai nilai gizi dan dapat larut dalam media kultur. Artemia mulai makan pada instar ketiga, yaitu setelah saluran pencernaan terbentuk. Ukuran partikel pakan untuk larva artemia adalah 20-30 µm dan untuk artemia dewasa antara 40-50 µm.

D.    Reproduksi
Chumaidi et al., (1990) menyatakan bahwa perkembangbiakan artemia ada dua cara, yakni partenhogenesis dan biseksual. Pada artemia yang termasuk jenis parthenogenesis populasinya terdiri dari betina semua yang dapat membentuk telur dan embrio berkembang dari telur yang tidak dibuahi. Sedangkan pada artemia jenis biseksual, populasinya terdiri dari jantan dan betina yang berkembang melalui perkawinan dan embrio berkembang dari telur yang dibuahi.
Pada awalnya naupli berwarna orange kecoklatan karena masih mengandung kuning telur. Artemia yang baru menetas belum bisa makan, karena mulut dan anusnya belum terbentuk dengan sempurna. Setelah 12 jam naupli tersebut akan berganti kulit dan memasuki tahap larva kedua (nauplius II). Dalam fase ini naupli tersebut akan mulai makan dengan pakan berupa mikroalga, bakteri, dan detritus organik lainya. Nauplius bersifat tidak memilih pakan sehingga akan memakan segala jenis pakan yang dapat dikonsumsinya selama ukuran sesuai dengan bukaan mulut nauplius. Naupli akan berganti kulit sebanyak 15 kali sebelum menjadi dewasa dalam kurun waktu 8 hari. Artemia dewasa rata-rata berukuran sekitar 8 mm, meskipun demikian pada kondisi yang tepat mereka dapat mencapai ukuran sampai dengan 20 mm (Sumeru, 2008).
Dalam tingkat salinitas rendah dan pakan yang optimal, artemia betina bisa menghasilkan naupli sebanyak 75 ekor perhari. Selama masa hidupnya (sekitar 50 hari) artemia bisa memproduksi naupli rata-rata sebanyak 10-11 kali. Dalam kondisi normal, artemia dewasa bisa hidup selama 3 bulan dan memproduksi naupli atau kista sebanyak 300 ekor (butir) per 4 hari (Sumeru, 2008).

E.     Kualitas Air
Artemia sp. secara umum tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25-30 oC. Kista artemia kering tahan terhadap suhu -273 hingga 100 oC. Artemia dapat ditemui di danau dengan kadar garam tinggi, disebut dengan brain shrimp. Kultur biomasa artemia yang baik pada kadar garam 30-50 ppt. Untuk artemia yang mampu menghasilkan kista membutuhkan kadar garam diatas 100 ppt (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Faktor lain yang penting adalah pH, cahaya, dan oksigen. Nilai pH berkisar antara 8-9 merupakan nilai yang paling baik, sedangkan pH di bawah 5 atau lebih tinggi dari 10 dapat membunuh artemia. Cahaya minimal diperlukan dalam proses penetasan akan sangat menguntungkan bagi pertumbuhan artemia (Jusadi, 2003).



F.     Penetasan Kista Artemia salina
Harefa (1996) mengatakan bahwa penetasan kista artemia dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu penetasan langsung dan penetasan dengan cara dekapsulasi. Cara dekapsulasi dilakukan dengan mengupas bagian luar kista menggunakan larutan hipoklorit tanpa mempengaruhi kelangsungan hidup embrio. Cara dekapsulasi merupakan cara yang tidak umum digunakan pada panti-panti benih, namun untuk meningkatkan daya tetas dan meneghilangkan penyakit yang dibawa oleh kista artemia cara dekapsulasi lebih baik digunakan.
Langkah-langkah penetasan kista artemia dengan cara dekapsulasi yaitu dengan cara kista artemia dihidrasi dengan menggunakan air tawar selama 1-2 jam, kemudian kista disaring menggunakan plankton net 120 mikronm dan dicuci bersih. Tahap selanjutnya kista dicampur dengan larutan kaporit/klorin dengan dosis 1,5 ml per 1 gram kista, kemudian diaduk hingga warna menjadi merah bata, lalu kista segera disaring menggunakan plankton net 120 mikronm dan dibilas menggunakan air tawar sampai bau klorin hilang, barulah siap untuk ditetaskan selanjutnya kista akan menetas setelah 18-24 jam. Pemanenan dilakukan dengan cara mematikan aerasi untuk memisahkan cytae yang tidah menetas dengan naupli artemia (Harefa, 1996).
Purwakusuma (2008) kista hasil dekapsulasi dapat segera digunakan (ditetaskan) atau disimpan dalam suhu 0-4 oC dan digunakan sesuai kebutuhan. Dalam kaitannya dengan proses penetasan Chumaidi et al (1990) mengatakan kista setelah dimasukan ke dalam air laut (5-70 ppt) akan mengalami hidrasi berbentuk bulat dan di dalamnya terjadi metabolisme embrio yang aktif, sekitar 24 jam kemudian cangkang kista pecah dan muncul embrio yang masih dibungkus dengan selaput. Pada saat ini panen segera akan dilakukan.



















III.  METODOLOGI PRAKTIKUM



A.  Waktu dan Tempat
Praktikum Budidaya Pakan Alami Penetasan Kista Artemia Salina dilaksanakan pada hari Senin-Selasa, 05-06 November 2012 pukul 08.00 WIB sampai dengan selesai di Laboratorium Budidaya Perairan Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya.

B.     Alat  dan Bahan
1.      Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum penetasan kista Artemia salina adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Alat yang digunakan dalam praktikum penetasan Artemia salina
No.
Alat
Spesifikasi
Fungsi
 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Botol air mineral
Tali rafia
Aerator
Pisau / cutter
Neraca digital
Lem isolasi
Terminal listrik
Senter
Plastik hitam
Penjepit selang aerator                    
1,5 L
Secukupnya
1
         1
1
1
-
1
1
1
Sebagai wadah tempat artemia
Untuk menggantungkan botol
Untuk aerasi
Untuk memotong botol
Untuk menimbang kista artemia
Untuk merekatkan plastik
Untuk menghubungkan listrik
Untuk penyinaran pada artemia
Untuk melapisi dan menutupi botol
Untuk mengatur pengeluaran artemia saat pemanenan

2.      Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum penetasan kista Artemia salina adalah sebagai berikut :

Tabel 2. Bahan yang digunakan untuk percobaan penetasan Artemia salina
No.
Bahan
Spesifikasi
Fungsi
1.
2.
Air laut
Kista artemia
1 L
1 g
Media hidup artemia
Objek percobaan


C.    Cara Kerja
      Adapun cara kerja yang dilakukan dalam praktikum ini adalah sebagai berikut :
a.    Botol air minum kemasan berkapasitas 1,5 liter dibersihkan dengan menggunakan sabun lalu dibilas hingga bersih dan dikeringkan (sterilisasi).
b.    Kemudian potong bagian bawah botol lalu botol dibalik.
c.    Buat kran tempat pengeluaran naupli artemia dibagian mulut botol, usahakan jangan sampai bocor.
d.   Wadah penetasan diletakkan didekat lampu.
e.    Masukkan 1 liter air laut lalu aerasi.
f.     Masukkan kista artemia 1 gram ke dalam wadah penetasan tersebut biarkan selama 24-48 jam.
g.    Pemanenan artemia dilakukan dengan cara mematikan aerasi terlebih dahulu lalu dilakukan penyenteran dari bagian bawah botol sehingga naupli akan mengikuti arah cahaya untuk memudahkan pemanenan.
h.    Perhitungan dilakukan dengan rumus
HP =  N1 x 100%
          N2               
Keterangan : HP  =  Persentase penetasan
                     N1   =  Jumlah kista yang menetas
                     N2   =  Jumlah kista yang ditetaskan
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN



A.    Hasil
Adapun hasil yang diperoleh dari praktikum penetasan kista Artemia salina adalah sebagai berikut :
Tabel 3. Hasil praktikum penetasan kista Artemia salina
    Kelompok               Penetasan (%)                   N1                              N2
                                                                        (ekor/liter)                  (ekor/liter)            
   I                           68,85 %                       178.000                       258.525
       II                          68,64 %                       196.000                       286.389
      III                          29,84 %                       77.000                         258.000
      IV                          54,67 %                      188.000                       343.860
      V                           41,41 %                       101.000                       243.860
 VI                          12,41 %                       31.000                         249.000
     VII                         32,38 %                       81.000                         250.200
VIII                                    86,6 %                         250.000                       300.000

B.     Pembahasan
Pada praktikum penetasan kista artemia ini, kista dimasukan kedalam wadah yang berisi air laut. Kista yang sudah dimasukan kedalam air laut tersebut menetas dalam waktu 22 jam, penetasan kista tersebut relative cepat hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Mudjiman (1989) penetasan kista artemia yang berkualitas baik akan menetas dalam waktu sekitar 18-24 jam apabila diinkubasi dalam salinitas 5-10 ppt, ada beberapa proses yang terjadi dalam penetasan kista artemia yaitu tahapan hidrasi, tahapan pecah cangkang, dan tahapan naupli.
Pada praktikum ini digunakan 1 gram kista per liter air media penetasan. Kemudian dilakukan penghitungan jumlah kista dengan metode sampling didapat 188.000 butir kista artemia. Pada praktikum ini, kista artemia dimasukkan kedalam wadah penetasan pada tanggal 5 Nopember 2012 jam 14.30 WIB dan penetasan kista terjadi pada tanggal 5 Nopember 2012 jam 12.46 WIB. Persentase penetasan kista artemia dilakukan dengan melakukan pemanenan langsung yaitu dengan menghitung menggunakan metode volumetrik. Banyaknya kista yang menetas pada kelompok kami adalah 343.860 butir kista artemia dengan persentase penetasan 54,67% persentase ini relatif rendah dibandingkan dengan kelompok lain, karena pada praktikum ini banyak kista yang tidak menetas karena dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu lingkungan yang tidak normal baik itu suhu, aerasi, kepadatan populasi kista, salinitas maupun intensitas cahaya. Menurut Harefa (1996) penetasan terjadi jika terdapat perbedaan tekanan osmotik antara bagian luar dan dalam kista. Peningkatan tekanan di dalam kista ini disebabkan oleh adanya gliserol. Gliserol dapat disintesis dari adanya lemak maupun dari trehalosa yang terkandung dalam yolk.
Setelah 15 – 20 jam pada suhu 25°C kista akan menetas manjadi embrio. Dalam waktu beberapa jam embrio ini masih akan tetap menempel pada kulit kista. Pada fase ini embrio akan menyelesaikan perkembangannya kemudian berubah menjadi naupli yang sudah akan bisa berenang bebas. Pada awalnya naupli akan berwarna orange kecoklatan akibat masih mengandung kuning telur. Artemia yang baru menetas tidak akan makan, karena mulut dan anusnya belum terbentuk dengan sempurna. Setelah 12 jam menetas mereka akan ganti kulit dan memasuki tahap larva kedua. Dalam fase ini mereka akan mulai makan, dengan pakan berupa mikro alga, bakteri, dan detritus organik lainnya. Pada dasarnya mereka tidak akan peduli (tidak pemilih) jenis pakan yang dikonsumsinya selama bahan tersebut tersedia diair dengan ukuran yang sesuai. Naupli akan berganti kulit sebanyak 15 kali sebelum menjadi dewasa dalam waktu 8 hari. Artemia dewasa rata-rata berukuran sekitar 8 mm, meskipun demikian pada kondisi yang tepat mereka dapat mencapai ukuran sampai dengan 20 mm. Pada kondisi demikian biomasnya akan mencapi 500 kali dibandingakan biomas pada fase naupli (Purwakusuma, 2008).
Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) pembesaran Artemia salina dengan kepadatan 3 ekor/ml dan hasilnya cukup baik. Dengan padat penebaran 3 ekor/ml, air laut harus diganti setiap hari. Dalam hal penebaran Artemia salina kepadatan nauplius juga harus diperhatikan. Padat penebaran yang telah diuji pada nauplius adalah antara 1000-9000 ekor/l. Pada nauplius ini ada gejala yang menarik. Ternyata kandungan amonia justru lebih tinggi pada kepadatan rendah. Produksi amonia pada padat penebaran 6000 ekor/l tidak berbeda nyata dengan padat penebaran 9000 ekor/l. Padat penebaran rendah terjadi peningkatan aktifitas dengan semakin besarnya ruang gerak sehingga produksi amonia bertambah karena metabolisme meningkat. Sebaliknya dengan padat penebaran nauplius yang tinggi akan mengurangi raung gerak sehingga akan mengurai metabolisme nauplius dan produksi artemia akan menurun. Sedangkan untuk penggunaan aerasi yang terus menerus akan menghambat pertumbuhan larva Artemia salina. pembesaran Artemia salina dengan aerasi secara periodik yaitu satu menit setiap setengah jam (Persoone dan Sorgeloos, 1975).



V.    KESIMPULAN DAN SARAN



A.    Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang diperoleh dari praktikum ini adalah sebagai berikut :
1.              Penetasan kista artemia berlangsung selama 22 jam yang terjadi melalui beberapa tahapan.
2.              Penetasan kista artemia sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu suhu, aerasi, salinitas dan intensitas cahaya.
3.              Banyaknya kista yang menetas pada kelompok kami adalah 343.860 butir
4.              Persentase penetasan kista artemia yang didapatkan dari kelompok kami yaitu sebesar 54,67%.
5.              Jumlah kista artemia dalam 1 gram dihitung sebanyak 188.000 butir.

B.     Saran
Pada saat praktikum penetasan kista Artemia salina sebaiknya peralatan dan bahan praktikum lebih dipersiapkan terlebih dahulu agar praktikum berjalan dengan lancar.





DAFTAR PUSTAKA



Bougias, 2008. Pakan   Ikan   Alami. Kanisius, Yogyakarta.

Chumaidi et. al. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Pakan Alami Ikan dan UdangPuslitbangkan PHP\KAN\PT\12\Rep\1990, Jakarta

Daulay, T., 1998. Artemia Salina (Kegunaan, Biologi dan Kulturnya). INFIS Manual Seri No.12. Direktorat Jendral Perikanan dan International Development Research, Jakarta.

Dhert, P., P. Sorgeloos, and B. Devresse. 1980. Contribution toward a specific DHA enrichment in the live food Brachionus plicatilis and Artemia sp.I  n: Reinertsen, H., L.A. Dahle, L. Jorgensen, and K. Tvinnereim (eds). Proceeding of The First National Conference of Fish Farming Technology. Rotterdam: Comittee of the First National Conference of Fish Farming Technology.

Djarijah, Abbas Siregar. 2003.  Pakan Ikan Alami. Kanisius, Yogyakarta.

Harefa, 1996. Laporan Kegiatan Kultur Kopepoda dan Artemia dengan Pakan Fermentasi, Dirjen perikanan BBL Lampung

Isnansetyo dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton. Pakan Alami   Untuk Pembenihan Organisme Laut. Kanasius, Yogyakarta.

Jusadi, Dedy. 2003. Modul Penetasan Artemia. Direktorat Pendidikan  Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional.

Mudjiman, A. 2008. Makanan Ikan Edisi Revisi. Penebar Swadaya, Jakarta.

Persoone, G. dan P. Sorgeloos 1975. Technological imporvements for the cultivation of invertebrates as food for fishes and crsutaceans I. Devices and methods. Aquaculture 6 : 275 - 289.

Purwakusuma, W. 2008. Artemia Salina. (fish.com/pakanIkan/Artemia.php). Diakses  Pada Tanggal 28 April 2012.

Priyambodo dan Wahyuningsih, Tri. 2003. Budidaya Pakan Alami Untuk Ikan. Jakarta : Penebar Swadaya Sumeru, Sri Umiyati, Ir. 2008. Produksi Biomassa Artemia. diakses tanggal 15 November 2008.

Sumeru, Sri Umiyati dan Suzzy Anna. 2008. Penyediaan Nauplii Artemia. http:// hobiikan.blogspot.com/2008/10/penyediaannauplii- artemia.html [17 Mei 2009].

Thariq et al. 2002. Biologi Zooplankton. Seri Budidaya Laut No.9. Balai Budidaya Laut Lampung, Lampung.





















LAPORAN TETAP
PRAKTIKUM BUDIDAYA PAKAN ALAMI

PENETASAN KISTA ARTEMIA




Oleh
Kelompok IV
Ahmad Medi Aprianto                     (05101005005)
Syarif Hidayatullah                           (05101005014)
Ririenn Ghaliah G.Q             (05101005015)
Apriana                                              (05101005030)

                                                                 


                                                               










PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
INDRALAYA
2013

1 komentar: